Bagaimana dengan pengawasan obat di Indonesia? Badan pengawas obat dan makanan (BPOM) di indonesia, belum merasakan perlunya menarik obat-obatan itu dari peredaran di indonesia, mengikuti trend yang ada di amerika. Di indonesia sendiri belum diadakan penelitian terhadap dampak penggunaan Pseudoephedrin pada balita berusia dibawah 6 tahun (dari hasil pencarian terakhir). Sedangkan begitu, dikatakan oleh kepala BPOM seperti dikutip dari salah satu majalah di Indonesia, mengatakan “ Tidak menganjurkan anak-anak balita untuk minum obat batuk dan pilek yang dijual secara bebas,”
Beberapa perusahaan farmasi terkenal juga telah menganjurkan untuk tidak menggunakan obat batuk pilek yang dijual bebas, lebih baik menggunakan obat yang telah diresepkan oleh dokter, dikarenakan mengandung zat yang lebih aman dikomsumsi oleh balita, yaitu Phenylephrine.
Pada bulan januari 2006, telah dilakukan penelitian oleh CDC dikarenakan pada tahun 2005 terdapat kematian 3 orang bayi berusia di bawah 6 bulan setelah mengkonsumsi obat batuk dan demam, dan dari hasil penelitian didapatkan pada tahun 2004-2005 terdapat kematian lebih dari 1500 balita dibawah 2 tahun yang dirawat setelah mengkonsumsi obat-obat tanpa resep dari dokter. Pada ketiga balita tersebut, di dalam darahnya terkandung kadar pseudoephedrin yang cukup tinggi di dalam darahnya.
Pseudoephedrin adalah agen simpatomimetik yang langsung dan tidak langsung, bekerja pada reseptor alfa dan beta, obat ini bekerja pada sistem saraf dan meningkatkan resiko stroke. Pada balita berusia di bawah 2 tahun, metabolisme dari zat pseudoefedrin belum baik karena beberapa organ metabolisme masih dalam tahap perkembangan. Sehingga pada pemberian obat dapat meningkatkan kadar yang tinggi di darah yang dapat menimbulkan berbagai efek samping seperti, gelisah, gemetar, alergi pada kulit, sering menangis, dan muntah-muntah pada balita Anda.