"Tidak semua dokter, bidan, bahkan orang tua bayi mengetahui syarat pemberian imunisasi. Akibatnya muncul berbagai persepsi keliru mengenai pemberian imunisasi," kata Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak (IDAI) Soedjatmiko di Jakarta.
Soedjatmiko mengatakan, ada tiga hal yang selalu
salah dipersepsikan mengenai pemberian imunisasi. Pertama jika
seseorang bayi terlambat memberikan imuinisasi, maka harus diulang.
Padahal, meskipun terlambat imunisasi tetap dapat diberikan. Sebab,
jarak waktu setiap pemberian imunisasi bukan merupakan patokan yang
baku.
Selanjutnya, ketika bayi telah melampui batas
imunisasi, maka bayi tidak bisa mendapatkan imunisasi. Padahal, dalam
imunisasi jika terdapat kasus sampai melampui, bisa diberikan imunisasi
sekaligus tanpa menghilangkan pemberian imunisasi selanjutnya.
"Daripada tidak diimunisasi, lebih baik dirangkap sekaligus. Lagipula
tidak ada efek sampingnya," tambahnya.
Terakhir, kasus tidak dapat menunjukkan Kartu Menuju
Sehat (KMS), lanjut Soedjatmiko, biasanya menyebabkan bayi melompat
mendapatkan imunisasi bahkan ada yang diulang. Kesalahan persepsi yang
terakhir ini, disebabkan anggapan jika mendahului atau dilakukan dua
kali menyebabkan manfaat imunisasi kurang maksimal. Parahnya, hal ini
juga disepakati oleh para orang tua.
Maka dari itu, perlu sosialisasi lebih intensif
terhadap petugas kesehatan dan para orang tua bayi. Lebih jauh lagi,
persepsi salah yang muncul di masyarakat harus segera diluruskan
sekaligus memupuk kesadaran masyarakat untuk teratur mengimunisasikan
bayinya.
Untuk diketahui, bayi selama sembilan bulan wajib
mendapat imunisasi dasar. Setelah lahir bayi harus segera mendapatkan
imunisasi hepatitis B. Bulan kedua diberikan imunisasi BCG dan Polio.
Selanjutnya, setiap bulannya hingga bulan keempat, bayi mendapatkan
imunisasi DPT-Hepatitis dan Polio. Terakhir, bayi harus mendapatkan
imunisasi campak ketika telah berumur sembilan bulan.