Diare dan Alergi Gangguan Kesehatan Menyerang Balita

Kehadiran buah hati yang sehat dan cerdas merupakan dambaan para orang tua. Sayangnya, proses tumbuh kembang si kecil kerapkali terganggu oleh berbagai masalah kesehatan. Salah satu gangguan kesehatan yang banyak diderita bayi dan anak-anak berusia di bawah lima tahun adalah diare dan alergi. Cut Fabiayya, misalnya, menderita alergi dan mencret saat baru berusia lebih dari satu bulan. Bagian pipinya ruam merah. Ia juga mencret berulang kali dalam sehari. Padahal, begitu pulang dari rumah sakit, ia mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif dari ibunya.

Setelah diperiksa dokter, ternyata ia menderita alergi. Bakat alergi itu berasal dari kedua orang tuanya yang menderita asma. Penyebabnya, selama menyusui, ibunya mengonsumsi susu untuk ibu menyusui dan beberapa jenis makanan yang berpotensi menimbulkan alergi. Untuk mengurangi risiko alergi, selama menyusui, Rifsia, ibu dari Cut Fabiayya, lalu pantang makan ikan laut, kacang tanah, dan telur.

Hal serupa juga dialami Raka Pratama saat menginjak usia lima bulan. Karena sampai dua hari setelah lahir ASI ibunya belum keluar, Raka kemudian diberi susu formula. Beberapa hari kemudian, ia menderita panas tinggi, kulitnya kemerahan terutama di bagian muka, kaki dan badan. Setelah diberi antibiotik, Raka malah mencret sampai 15 kali dalam sehari, tinja yang keluar berlendir dan bercampur dengan sedikit darah, dan pada tubuhnya keluar bercak-bercak merah.

Karena ibunya memiliki riwayat menderita asma, dokter mulai mencurigai adanya gejala alergi susu sapi sehingga disarankan agar susu formula yang biasa dikonsumsi Raka diganti dengan susu formula berbahan dasar kedelai. Setelah diobati dan berganti jenis susu, diarenya cepat sembuh. "Bercak kemerahan pada kulit Raka juga hilang," kata Ny Titin, nenek dari Raka yang sehari-hari tinggal di Ciledug, Tangerang.   

Awal kelahiran  
Masalah diare dan reaksi alergi dialami bayi-bayi dan kelompok anak berusia di bawah lima tahun di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Bila tidak segera diatasi, bayi dan anak balita yang menderita diare dan alergi akan terganggu proses tumbuh kembangnya pada periode emas pertumbuhan.

Hasil penelitian yang dilakukan Prof Bengt Björkstén dari Institut Karolinska Swedia Björksté n pada tahun 2001 membuktikan, bayi-bayi penderita alergi terbukti mempunyai lebih sedikit Bifidobakteria pada feses atau tinja hingga mereka berusia lima tahun. Sejumlah riset dalam 10 tahun terakhir juga membuktikan perbedaan mencolok komposisi mikrobiota bayi sehat dan alergi di negara-negara dengan prevalensi alergi rendah dan tinggi.

Menurut Bengt Björkstén, pengaruh kondisi awal kelahiran, termasuk cara kelahiran dan penggunaan antibiotik, mempunyai efek sangat besar terhadap pola mikroflora (jasad renik berukuran kecil seperti bakteri dan jamur) saluran cerna. Mikroflora itu sangat penting untuk merangsang sistem daya tahan tubuh dalam kondisi normal, ujarnya menegaskan.

Hasil penelitian (Gronlund et al, Clin Exp Allergy 1999) memperlihatkan, keberadaan bakteri menguntungkan seperti Bifidobakteria pada bayi yang lahir cesar akan tertunda, dan dibutuhkan waktu hingga 6 bulan untuk menyamai bayi yang lahir normal. Oleh karena, bayi yang lahir cesar akan steril dari bakteri baik saat dilahirkan, sedangkan bayi lahir normal telah terpapar bakteri ketika dilahirkan.

Padahal bakteri baik seperti Bifidobakteria (kelompok bakteri menguntungkan atau probiotik di saluran cerna) yang diperoleh pada periode awal kelahiran, diperlukan untuk mengenali dan membentuk toleransi terhadap zat-zat asing yang masuk ke tubuh. Dominasi Bifidobakteria dalam saluran cerna terbukti dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga bisa membantu kekebalan lokal di daerah pencernaan pada bayi.

"Pentingnya peranan bakteri menguntungkan ini menjelaskan mengapa bayi yang dilahirkan secara cesar dilaporkan memiliki angka kejadian alergi dan infeksi yang lebih tinggi," kata Kepala Divisi Gastrohepatologi Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Prof Agus Firmansyah.  

Probiotik
Sejumlah penelitian secara klinis menunjukkan, pemakaian beberapa jenis probiotik memberi efek sedang untuk mengatasi eksim pada bayi . Hal ini menarik untuk mengetahui potensi pencegahan alergi dengan mempengaruhi mikroflora saluran cerna melalui pemberian probiotik mikroorganisme non patogen yang memberi manfaat bagi yang mengonsumsinyapada bayi. "Tidak semua bakteri adalah probiotik," ujar Björksté n.

Penggunaan mikroorganisme yang bermanfaat bagi kesehatan telah digunakan sejak lama dan telah terbukti keamanan penggunaan probiotik, bahkan pada bayi dan subjek yang daya tahannya agak lemah. Air susu ibu merupakan sumber alami probiotik. Ini menunjukkan pentingnya peranan probiotik sejak awal kelahiran. Bayi lahir normal yang diberi ASI akan makin sehat karena bakteri probiotik mendominasi mikrobiota saluran cerna, kata Agus.

Maka dari itu, beberapa tahun belakangan ini bakteri probiotik mulai diberikan kepada bayi dan balita dengan memperhatikan aspek keamanan. Hanya preparat probiotik yang sudah diuji secara intensif dan terbukti aman yang boleh diberikan. Probiotik Bifidobacterium lactis merupakan salah satu probiotik yang dinyatakan aman oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-Obatan Amerika Serikat atau US-FDA, ujar Björkstén.

Sebagian besar riset tentang probiotik untuk anak-anak difokuskan pada pencegahan diare, kolik intoleransi laktosa, baru kemudian alergi. Pada tahun 1994, Saavedra dkk melaporkan penurunan drastis angka kejadian diare pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit yang diberi probiotik dibandingkan kelompok yang tidak memperoleh probiotik.

Sejauh ini, ada empat penelitian terkontrol menggunakan plasebo yang memberi kan probiotik pada bayi usia 6-12 bulan. Tiga penelitian itu memperlihatkan pengurangan eksim pada anak-anak itu. Hasil temuan itu akan mendorong lebih banyak penelitian lanjutan untuk membuktikan bahwa pemberian probiotik akan mengurangi angka kejadian a lergi pada saluran napas di masa kanak-kanak.
Penyakit alergi itu bersifat kompleks dan penyebabnya multifaktorial. Probiotik telah diteliti untuk membantu mengurangi risiko munculnya reaksi alergi pada bayi. Penelitian itu masih berada di tahap awal dan hasilnya cukup menggembirakan yaitu muncul efek perlindungan signifikan dari probiotik untuk mencegah timbulnya atopik dermatitis.

"Memahami ekologi mikroba membuka cara baru untuk pencegahan dan terapi," kata Björkstén. Bersahabat dengan kelompok bakteri baik diharapkan bisa mengurangi risiko diare dan alergi pada bayi dan balita yang pada akhirnya akan mengoptimalkan tumbuh kembang sang buah hati.













.