Alergi Susu Telur pada Bayi Faktor Keturunan Orang Tua

Jika Ibu-Bapak punya riwayat alergi, kemungkinan si kecil juga alergi sekitar 80 persen. Tapi jika salah satu orang tua saja yang alergi, kemungkinannya cuma 30 persen. "Jadi, alergi pada bayi hanya timbul bila ia punya faktor predisposisi atopi atau ada bakat alergi, yaitu keadaan dimana seseorang gampang membuat IgE atau immunoglobulin E," terang Dr. H. Syawitri P. Siregar, Sp.A(K), dari bagian imunologi FKUI. Pada bayi atopi, terangnya lebih lanjut, IgE yang diproduksinya banyak atau dalam kadar tinggi. Sedangkan bayi bukan atopi, kadar IgE-nya normal. IgE adalah daya pertahanan tubuh yang melekat pada salah satu sel, yaitu sel mast. Nah, alergi terjadi lantaran alergen (faktor penyebab alergi) menempel pada IgE yang banyak dibentuk, hingga sel mast jadi pecah dan mengeluarkan mediator atau zat-zat, salah satunya histamin. Histamin inilah yang menyebabkan munculnya gejala-gejala alergi.
"Tentunya, selain bakat alergi diturunkan juga selalu ada faktor lingkungan," lanjut Syawitri. Adapun faktor penyebabnya, yaitu 1) makanan, seperti susu, telur, dan kacang-kacangan; 2) bahan-bahan hirupan, seperti debu rumah dan tungau debu yang berasal dari karpet atau boneka-boneka berbulu. Namun pada bayi, alergennya lebih karena faktor makanan. Sedangkan bahan-bahan hirupan lebih kerap jadi pemicu alergi pada anak usia sekitar 2-3 tahun.

GEJALA DAN PENGOBATAN
Alergi pada bayi bisa terjadi di kulit, usus, dan saluran napas (dari hidung, tenggorok, sampai cabang paru-paru). Pada kulit, sering ditemui di bagian pipi. Misal, pipi merah dan tampak kasar atau beruntusan, serta gatal. Selain, pipi juga basah dan berair. "Tapi nanti mereda dan gejala yang tampak itu menipis. Gejala ini bisa timbul kembali karena suatu sebab. Itulah tanda permulaan bayi alergi di kulit," tutur Syawitri.

Kadang, gejalanya juga muncul di kulit kepala dan seluruh tubuh. Biasanya akan ke daerah lipatan-lipatan seperti tangan atau lutut bila gejala ringan ini sudah beberapa lama tak diatasi. Gejalanya akan hilang timbul dan orang menyebutnya dengan eksema. Biasanya gejala di kulit yang disebut eksema ini mulai usia 6 bulan. Tapi jangan sampai dikelirukan dengan keringet buntet, ya, Bu-Pak, karena keringet buntet biasanya muncul di daerah leher.

Sedangkan alergi yang terjadi di usus, gejalanya dalam bentuk diare. "Usus bayi, kan, masih muda dan sistem imun di ususnya juga belum sempurna atau matang, hingga bahan makanan yang molekulnya besar-besar akan dilewatkan saja tanpa disaring atau dipilih lebih dulu. Nah, ini menyebabkan tubuhnya juga terangsang untuk membuat IgE hingga muncullah gejala alerginya." Tapi, jika bayi sudah agak besar, ususnya sudah berkembang baik hingga bisa menyerap makanan dengan baik pula, maka gejalanya hilang.

Akan halnya alergi di saluran napas, gejalanya bisa berupa bersin-bersin, napas berbunyi ngrok-ngrok karena banyak lendir, atau batuk-batuk. "Bahayanya bila kita tak tahu si kecil punya alergi di saluran napas, karena nantinya ia cepat menderita asma. Belum umur setahun sudah batuk terus dan kadang sesak."
Hati-hati, lo, Bu-Pak, jika si kecil kerap sesak napas. Ia memang tetap tumbuh namun tak berkembang, akan sakit-sakitan terus, batuk terus, dan berat badannya kurang. Pasalnya, anak yang kerap sesak napas berarti oksigen ke seluruh tubuh termasuk otak, jadi berkurang. Sementara napas yang berbunyi karena banyak lendir menyebabkan bayi sulit bernapas. Meski sebetulnya lendir itu reaksi tubuh untuk mengeluarkan benda asing yang ada di saluran napas atau suatu mekanisme pertahanan tubuhnya dari saluran napas, tapi jika terlalu banyak lendir atau hipersekresi, bayi jadi sulit bernapas.

Namun, semua gejala alergi tak bersifat menetap tapi hilang-timbul. Karena itu, alergi tak akan hilang. Pengobatan dilakukan dengan menghindarkan alergennya. Itulah perlunya kita tahu faktor penyebab alergi pada si kecil, ya, Bu-Pak. Jadi, bila si kecil alergi karena bahan-bahan hirupan, misal, ya, usahakan agar sekeliling rumah bebas debu, jangan pakai karpet, jangan beri mainan dari bulu, dan sebagainya. Bila gejalanya tak jua hilang kendati alergennya sudah dihindarkannya, harus ditekan dengan obat. Misal, si kecil sering bersin dan hidungnya mampet, biasanya diberikan obat minum antihistamin. Obat ini bekerja berlawanan arah dengan histamin yang menyebabkan timbul gejala alergi.

SUSU SAPI
Mengingat alergi pada bayi lebih kerap disebabkan makanan, kita harus tahu makanan apa saja yang jadi alergennya. Sebenarnya tak sulit, kok, Bu-Pak, untuk mengetahuinya. Jika tiap kali diberi makanan tertentu timbul gejala seperti pipinya merah-merah atau ia mengalami diare, misal, tapi begitu makanan tersebut dihindarkan gejalanya pun menghilang, berarti ia alergi. "Seringnya, bayi alergi terhadap susu sapi. Tiap kali diberi susu sapi akan timbul reaksi. Gejalanya bisa segera atau sejam setelah itu. Bisa juga lambat semisal sampai 6 jam," tutur Syawitri.

Perlu diketahui, susu sapi juga bisa menyebabkan alergi di saluran napas. Bila histamin yang dikeluarkan -akibat pecahnya sel mast lantaran protein susu sapi menempel pada IgE- dibawa oleh peredaran darah ke saluran napas, menyebabkan penyempitan hingga membuat bayi jadi sesak napas dan napasnya berbunyi. "Memang, bisa juga terjadi proses peradangan yang menyebabkan banyak lendir di saluran napas hingga sering membuat napas berbunyi. Itu sebabnya, orang tua menganggap bayi bernapas demikian dikarenakan waktu lahir tak bersih penyedotan lendirnya, padahal bukan tak mungkin penyebabnya lantaran si bayi alergi terhadap susu sapi."

Bukan berarti bayi yang alergi susu sapi maka selamanya tak boleh minum susu sapi, lo. "Hanya bila timbul gejala dihindarkan dulu selama 6 bulan dan diganti susu kedelai. Setelah itu dicoba lagi. Bila masih timbul gejala, hindarkan lagi. Begitu seterusnya hingga ia toleran atau bisa menerima susu sapi." Umumnya, menjelang usia 2 tahun, sebagian besar anak sudah toleran terhadap susu sapi. Kendati ada pula yang sampai usia 5 tahun, meski dicoba tetap saja alergi hingga tak pernah minum susu sapi. "Tapi enggak masalah, kok. Toh, sejak usia setahun ia sudah bisa mengkonsumsi bermacam makanan seperti daging sapi, ayam, dan sebagainya, hingga proteinnya tak terganggu."

Bila si kecil ternyata juga alergi susu kedelai (sekitar 50 persen anak yang alergi susu sapi mengalaminya), ia perlu diberi susu sapi yang sudah dihidrolisasi (suatu proses dimana protein yang menyebabkan alergi dibuat jadi partikel-partikel kecil). Sayang, susu ini tak bisa kita ketahui dari ingridien kemasannya. Syawitri hanya menyebut Pepti Junior dan Pregestimil sebagai contoh susu tersebut dan menyarankan, "sebaiknya pemberian susu sapi yang harus dikonsumsi bayi agar dikonsultasikan pula pada dokter anak."

Untuk bayi yang alergi susu sapi, Syawitri pun minta kita agar memperhatikan ada-tidak kandungan susu sapi dalam biskuit atau bubur susu instan kala memulai pemberian makanan tambahan. "Umumnya, bubur susu instan mengandung susu sapi. Jadi, sebaiknya ibu membuat sendiri dari susu kacang kedelai yang dicampur tepung beras. Bila mau manis, bisa ditambah sedikit gula."

MAKANAN GULA
Sebenarnya, tutur Syawitri lebih lanjut, semua makanan bisa menimbulkan gejala alergi. Telur, misal, "sebaiknya diberikan saat bayi usia sekitar 6-7 bulan." Baru di usia menjelang 2 tahun, sebagaimana susu sapi, kebanyakan anak juga sudah toleran terhadap telur.

Akan halnya buah-buahan dan sayuran, umumnya jarang menimbulkan alergi tapi bukan berarti tak ada. "Mungkin hanya beberapa bayi yang mengalaminya, seperti ada yang diberikan jus tomat lalu muncul gejala alergi sekitar mulut tampak merah dan gatal. Ini yang disebut kontak dermatitis; terjadi karena begitu diberikan tomat, langsung bayi mengeluarkan histamin."

Saran Syawitri, sebaiknya pemberian makanan pada bayi dilakukan satu per satu. Misal, di usia 7 bulan beri bubur dengan sayuran dulu selama 2 minggu. Bila tak tampak gejala alergi karena sayuran, berikutnya campurkan daging, hati, atau lainnya, lalu lihat reaksinya. Dengan demikian, bila ada alergi akan ketahuan bahan makanan apa saja yang jadi penyebab atau alergennya. Nah, bahan makanan itulah yang harus dihindarkan.

Buat ibu menyusui, Syawitri mengingatkan agar memperhatikan konsumsi makanannya. Soalnya, bisa saja bayi alergi terhadap makanan yang dikonsumsi ibunya, hingga setelah menyusui timbul reaksi alergi. Jangan lupa, apa yang dimakan ibu, semuanya keluar di ASI. Misal, ibu makan seafood atau minum susu sapi. "Mungkin bagi ibu tak apa-apa, namun bayinya enggak tahan. Jadi, bila tahu bayinya alergi, ya, ibu harus menghindarkan makanan yang dicurigai sebagai alergennya." Misal, mengganti minum susu sapi dengan susu kedelai, atau makanan protein hewani diganti protein nabati seperti tahu dan tempe. Hentikan konsumsi makanan yang dicurigai itu selama dua minggu, lalu dicoba lagi. Jika masih timbul reaksi, hentikan lagi, lalu coba lagi, dan seterusnya.

Selain makanan, semua bahan yang menempel di kulit bayi juga bisa menimbulkan alergi. Misal, pewangi atau pelembut pakaian, baby oil, lotion, sabun, dan sebagainya. "Bahan-bahan tersebut bisa menyebabkan reaksi kontak dermatitis." Gejalanya, timbul rasa gatal, "lalu mungkin saja karena ada gesekan, sel-sel mast jadi pecah hingga tampak merah dan gatal." Itulah mengapa, anjurnya, sebaiknya bayi jangan diberikan segala macam bahan pada kulitnya karena kulitnya masih sangat sensitif.

Nah, kini sudah tahu, kan, Bu-Pak, apakah si kecil alergi atau tidak?













.