Cara Membuat Anak Cerdas Meningkatkan Kecerdasan Anak

Seperti kita ketahui, gizi merupakan salah satu faktor pendukung kecerdasan, khususnya pertumbuhan otak. Itulah mengapa, anak harus diberikan makanan bergizi. Bukan hanya setelah ia lahir, tapi juga sejak di kandungan. Terlebih lagi, masa kritis pertumbuhan otak terjadi sejak kehamilan trimester ketiga sampai 18 bulan sesudah lahir. Jadi, bila ibu hamil kekurangan gizi pasti akan mempengaruhi tumbuh kembang janinnya. "Bila kekurangan timbul pada masa kritis, biasanya tak bisa di-chash-up atau dikoreksi lagi," ujar Dr. dr. Sri Rahayuningsih, M.Sc.  Artinya, keadaan ini tak bisa lagi diperbaiki dengan pemberian gizi setelah kelahiran. Soalnya, jumlah sel otak setelah kelahiran tak bisa berkembang lagi.
"Jadi, kecerdasannya hanya sebatas ukuran sejak di kandungan," tandas Sekretaris Program Studi Ilmu Gizi (Pasca Sarjana) FKUI ini. Sebaliknya, bila anak lahir dari ibu yang gizinya baik selama hamil, maka kecerdasannya pun akan juga baik. "Nah, kondisi tersebut harus terus dipertahankan, karena gizi yang sudah baik akan berguna bagi perkembangan taraf kecerdasannya," tutur Sri. Kalau tidak, maka kecerdasannya pun tak akan berkembang optimal.

Nah, salah satu zat gizi yang penting bagi pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan ialah protein dan energi. Sebagaimana dijelaskan Nurfi Afriansyah, SKM  pada kesempatan terpisah, "bila kebutuhan energi dan protein ibu hamil tak terpenuhi, maka pertambahan jumlah neuron (sel otak) janin yang dikandungnya akan terganggu atau terhenti, sehingga ukuran kepala dan otak janin secara proporsional menjadi lebih kecil daripada ukuran tubuhnya."

Memang, aku Nurfi, ukuran otak bukan satu-satunya indikator kecerdasan, namun banyak bukti menunjukkan, kecerdasan yang rendah dan fungsi otak yang kurang ada kaitannya dengan otak yang berukuran kecil. Jadi, Bu-Pak, jangan abaikan protein dan energi, ya, baik selama ibu hamil maupun sesudah kelahiran.

PROTEIN HEWANI DAN NABATI
Menurut Sri, baik protein hewani maupun nabati, sama bagusnya untuk perkembangan kecerdasan anak. Karena, terangnya, "begitu protein diserap ke dalam tubuh akan diolah menjadi asam amino, yang merupakan bahan baku protein. Nanti, asam amino ini juga akan diolah lagi menjadi protein yang dibutuhkan oleh tubuh."

Hanya memang, lanjut Sri, protein hewani memiliki struktur sel yang lebih mudah dicerna oleh tubuh, sehingga sisanya sedikit dan komposisi asam amino makanan sumber protein hewani lebih lengkap. "Kalau protein nabati, sulit dicerna karena pada struktur selnya ada selulosanya dan asam aminonya juga kurang."
Bukan berarti protein nabati kalah "pamor" dari protein hewani, lo. Bedanya hanya terletak pada lengkap-tidaknya asam amino dan mudah-tidaknya dicerna protein tersebut. Protein hewani banyak terdapat dalam daging-dagingan, telur, ikan, hati, dan sebagainya. Khusus telur, terang Sri, hanya putihnya yang mengandung protein, sedangkan kuningnya mengandung vitamin dan ada lemaknya.

Akan halnya protein nabati banyak ditemukan pada kacang kedelai dan makanan olahan dari kacang kedelai seperti tempe, tahu, oncom; kacang-kacangan seperti kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang tanah; jagung; beras; dan gandum. Makanan sumber protein ini sudah bisa diperkenalkan sejak bayi.
Susu, misalnya, didalamnya juga terkandung protein hewani. Jadi, kalau bayi sejak lahir sudah mengkonsumsi susu formula, maka ia sama saja telah mendapatkan protein hewani. Sedangkan anak yang sudah masanya mendapatkan makanan pendamping/tambahan, protein hewani bisa dikonsumsi dari nasi timnya yang ditambah lauk ikan, hati, telur, atau daging.

Tapi, saran Nurfi, bagi anak yang mengalami rawan gizi, sebaiknya mengkonsumsi protein hewani Bila didapati kasus anak alergi makanan tertentu yang merupakan sumber protein, misalnya, alergi pada susu yang proteinnya disebut whey atau kasein, maka bisa diberikan bahan lain seperti susu kedelai. Begitupun bila anak alergi telur, ya, diganti saja dengan daging, ikan, atau hati, dan lainnya. Jadi, pandai-pandainya orang tua saja menyiasatinya. Bahkan, sekalipun anak tak suka mengkonsumsi makanan sumber protein hewani, misalnya, tak masalah bila ia hanya mengkonsumi makanan sumber protein nabati.

Bukankah keduanya sama bagus? Adapun ukuran protein yang tepat untuk anak usia 0-5 tahun berkisar antara 12-32 gram. Namun begitu, menurut Sri, tak ada dampak negatifnya bila anak diberikan banyak makanan sumber protein asalkan jangan sampai berlebihan.

"Kalau berlebihan, akan membuat berat kerja ginjal sehingga bisa membahayakan kesehatannya," jelas staf pengajar program S1, S2, dan S3 FKUI ini. Terutama pada anak yang tubuhnya ada kelainan disebabkan faktor bawaan sejak lahir, sambung Nurfi, kelebihan protein akan memperberat kerja ginjal. "Tapi kasus ini jarang terjadi, kok," tukasnya. Yang lebih sering justru alergi tadi. "Inilah yang mesti diwaspadai orang tua," sambungnya.

ENERGI UNTUK TENAGA
Mengenai energi, terang Nurfi, merupakan hasil konversi (perubahan) dari karbohidrat, lemak, dan protein yang disebut zat energi makro. Nah, tiga zat energi makro, urutan pertama untuk diubah adalah karbohidrat, lemak dan yang paling akhir adalah protein. "Anak yang sedang tumbuh dan berkembang tentunya banyak memerlukan tenaga, kan? Misalnya, tenaga untuk bermain, belajar, juga tenaga pada saat tidur.

Nah, untuk aktivitas-aktivitas tersebut, anak memerlukan makanan yang mengandung energi tinggi." Kalau tidak, otomatis tenaganya akan berkurang sehingga akan mempengaruhi aktivitasnya. Misalnya, dia jadi tak bergairah untuk bermain. Padahal kita tahu, bermain sangat penting bagi anak. Karena lewat bermain, anak bisa mengembangkan rasa ingin tahunya, misalnya. Nah, kalau tenaganya kurang, anak pun tak berminat untuk bereksplorasi. Kalau ini terus berlangsung, lama-lama, kan, ia bisa jadi pasif. Akhirnya, kecerdasannya pun tak berkembang. Iya, kan?

"Umumnya, makanan sumber energi tinggi sebagai penunjang aktivitas anak lebih difokuskan pada makanan sumber karbohidrat," lanjut Nurfi. Misalnya, biskuit, mi, roti, dan bihun yang terbuat dari tepung-tepungan; nasi atau bubur; dan umbi-umbian seperti kentang serta ketela. "Nah, biasanya anak suka susah makan nasi, justru lauknya yang lebih mudah masuk. Pintar-pintarnya si ibu mengolah dan menyajikannya untuk anak. Misalnya, dibuat arem-arem yang di dalamnya diisi lauk, atau bentuk penyajiannya yang dibuat lucu dan menarik, sehingga anak pun tergoda untuk memakannya."

PENTING STIMULASI
Nah, Bu-Pak, sekarang sudah lebih paham, kan, zat gizi apa saja yang diperlukan untuk kecerdasan dan terdapat dalam makanan apa saja zat gizi tersebut. Bukan berarti zat-zat gizi lainnya enggak penting, lo, semisal vitamin A, seng, zat besi, dan yodium. Sumber vitamin A bisa didapat pada hati, telur, susu mentega atau pada sayuran pro-vitamin A seperti bayam, wortel, pepaya, kangkung dan lain-lain.

Untuk zat besi, bisa didapat dari makanan berprotein hewani tinggi seperti daging-dagingan, hati, telur. Sedangkan seng, sumber utamanya terdapat pada makanan laut seperti tiram atau juga pada telur. Akan halnya yodium, terdapat pada ikan, rumput laut dan lain-lain.

Yang perlu diingat, kecerdasan merupakan proses panjang dan berkesinambungan. Bukan hanya pertumbuhan otak saja, tapi juga pertumbuhan organ-organ tubuh lainnya yang berkembang terus. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan, anak harus diberikan makanan dengan gizi seimbang. Namun begitu, kecerdasan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor gizi semata. Sebagaimana kita ketahui, tumbuh kembang seorang anak ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. "Faktor lingkungan memiliki kontribusi terhadap proses tumbuh kembang manusia sekitar 60 persen," ujar Nurfi. Sisanya dikontribusi oleh faktor keturunan.

Itulah mengapa, seorang pemusik, misalnya, akan memiliki anak yang suatu saat mengikuti jejaknya menjadi pemusik juga. "Selain karena ada faktor keturunan, faktor lingkungan juga membentuk anak tersebut," lanjut peneliti pusat Litbang Gizi Depkes, Bogor, ini. Nah, gizi termasuk faktor lingkungan. Namun masih ada lagi dari lingkungan yang harus menjadi perhatian orang tua, yaitu pemberian stimulus sejak lahir. Ibarat bikin rumah, kata Sri, gizi adalah bangunan dasarnya, sedangkan stimulus merupakan kelengkapan yang mengisi rumah.

"Kalau bangunan dasarnya baik, tapi pengisiannya enggak baik, misalnya, anak enggak sekolah atau kurang pergaulan, ya, tentu kecerdasannya juga kurang." Jadi, Bu-Pak, bila si kecil lahir dari orang tua yang cerdas, berarti ia potensial untuk cerdas. Tapi jika ia hanya diberi makanan bergizi dan orang tua kurang atau malah sama sekali tak mengembangkan potensi tersebut, ya, jangan harap si kecil nanti akan secerdas ayah-ibunya. Begitu, lo.













.